Pusat Kuliner dan Kerawanan Pangan oleh Dosen UMY



SOURCE: Komahi UMY
 
Oleh :
Ratih Herningtyas
Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY, mengajar mata kuliah Diplomasi dan Politik Pemerintahan Amerika Serikat

Bisnis kuliner adalah salah satu bisnis yang paling banyak mengalami berkembangan pesat beberapa waktu belakangan ini. Pusat-pusat kuliner baru bermunculan di berbagai tempat. Di kota Jogja misalnya, hampir di sepanjang jalan protokol atau bahkan di sudut-sudut perkampungan bermunculan blok-blok konsumsi baru. Dari yang sekelas warung sampai restoran mewah, bertebaran di mana-mana.

Masyarakatpun semakin dimanjakan dengan tawaran menu beraneka ragam. Fenomena munculnya blok-blok konsumsi ini seolah-olah menggambarkan betapa mudahnya akses masyarakat pada kebutuhan pangan. Tetapi apakah gambaran tersebut benar-benar mencerminkan kondisi ketersediaan pangan kita saat ini?? Benarkah sudah tidak ada persoalan kerawanan pangan di negara kita??

Kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat (Anonim, 2001). Dalam hal ini, pangan tidak sebatas beras sebagai sumber pangan utama bagi konsumen, tetapi berbagai sumber pangan yang meliputi diversifikasi pangan sesuai dengan kebiasaan atau budaya masyarakat setempat.

Dari definisi kerawanan pangan tersebut di atas, ada dua kondisi yang dapat dilihat. Pertama, kondisi yang terjadi pada daerah atau wilayah atau rumah tangga yang terganggu ketersediaan pangannya, dan kedua, kondisi lain pada masyarakat atau keluarga yang terganggu kemampuan akses terhadap pangan.

Terdapat dua tipe kerentanan dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan. Kerentanan pertama, adalah kerentanan yang ditimbulkan oleh dampak-dampak negatif globalisasi dan perdagangan bebas. Kerentanan ini menimbulkan dampak berupa sulitnya sebuah negara untuk membangun pangan lokal akibat praktek-praktek subsidi yang diterapkan oleh negara maju.

Dampak paling kentara dari kerentanan ini ialah berhentinya kegiatan produksi pangan karena biaya produksi yang lebih tinggi dari pada pendapatan. Akibatnya, pasar pangan lokal didominasi oleh produk pangan impor, dan tentu saja lapangan pekerjaan di sektor pertanian berkurang tajam.

Perubahan iklim menambah satu tipe kerentanan rumah tangga dalam memproduksi pangan, yaitu kerentanan iklim. Kerentanan iklim adalah manifestasi dari perubahan pola cuaca sehingga menimbulkan perubahan kadar air tanah dan kelembaban udara yang diperlukan oleh tanaman pangan. Perubahan siklus serta kadar air tanah dan kelembaban yang ekstrim berpotensi untuk menimbulkan kegagalan panen.

Fenomena cuaca yang disebut La Nina yang menyebabkan banjir dan El Nino yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan merupakan karakter khas dari dampak kerentanan iklim. Ujungnya kerentanan iklim membawa konsekuensi perubahan struktur produksi pangan dan bermuara pada keterbatasan ketersediaan pangan.

Sementara itu kerentanan terkait dengan ketersediaan akses terhadap pangan terkait dengan pola konsumsi yang relatif sama pada antar individu, antar waktu dan antar daerah mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga mekanisme-mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara ketersediaan dan konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar.

Faktor harga sangat terkait dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Sehingga meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi sementara daya beli rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak bisa mengaksesnya. Kondisi ini memicu timbulnya kerawanan pangan.

Berdasarkan data SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2007, proporsi penduduk rawan pangan di seluruh propinsi masih di atas 10 % kecuali di Propinsi Sumatra Barat, Bali dan NTB. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di daerah rawan pangan juga masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi.

Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga. Dengan demikian fenomena merebaknya blok-blok konsumsi yang termanifestasi dalam munculnya pusat-pusat kuliner tidak dapat serta merta menunjukkan bahwa persoalan kerawanan pangan telah teratasi.

Kunjungi situs situs UMY Yogya yang lain




Tidak ada komentar:

Posting Komentar